Merekonstruksi Asal Kata dari Kata-kata Bahasa Aceh

Setelah melihat pola perubahan bunyi pada perbandingan antara bahasa Aceh dengan bahasa Melayu, Arab dan bahasa-bahasa daerah lainnya maka saya mencoba merunut asal kata dari kata-kata bahasa Aceh. Mengingat akan terlalu banyak apabila seluruh asal kata dari kata-kata bahasa Aceh ditampilkan di sini, maka saya akan menampilkan sebagiannya saja.

Tambahan (16 november 2014)
Mohon diingat ini hanyalah dugaan saya. Tulisan ini bukanlah tulisan ilmiah yang bisa diambil sebagai rujukan.

Aceh Melayu Bahasa Lain Asal Kata
Umum Dialek lain
i ayir / ayèr ayia (M) *ayiar
beuët beut baca *baat
beulangöng beulangong belanga *balangang
bintéh dinding *bintis/bintih
bloë blo

blai

blè

beli *blai
bruëk bruk tempurung *bVruak
cruëp crup *cVruap
grôp lompat *gVrup
kreuëh kreuh keras *karaas
leukiët leukit *lakiat
limöng limong lima *limang
nanggroë nanggro

nanggrai

nanggrè

negeri nenggeri (G) *nanggarai
phui ringan *pVhul
pluëk pluk *pVluak
pluëng plung lari *pVluang
rumoh rumah *rumah
suët sut *suat
tamèh tiang *tamis
tamöng tamong masuk *tamang
tanöh tanoh tanah tanoh (G) *tanah
teurimöng teurimong terima *tVrimang
tet tôt bakar *tut
trép lama *tVrip
tuëng tung *tuang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

G = Gayo

M = Minang

V = Vokal

27 Comments

  1. Saya tidak paham dengan penjelasan Anda ini. Mohon diberikan penjelasan ihwal mengapa kata beuet berasal dari kata baat, binteh berasal dari bintis, suet dari suatu, tameh dari tamis. Apakah rekonstruksi yang Anda deskripsikan dalam tabel di atas berdasarkan kajian Linguistik Historis Komparatif. Jika memang kajiannya berdasarkan kajian linguistik komparatif, mohon jelaskan proses morfofonemik kata-kata yang saya sebutkan tadi.

  2. Beberapa Contoh pengucapan kata-kata dalam bahasa Aceh-Gayo-Melayu.
    :_
    Breuëk (Aceh, Pidie), Brok (Gayo), Tempurung (Melayu).
    :_
    Taguën (Aceh, Pidie), jerang (Gayo), jerang/memasak (melayu).
    :_
    Sipak (Aceh, Pidie), Tipak (Gayo), sepak (Melayu).
    :_
    Guda (Aceh), Kude (Gayo), Kuda (Melayu)
    :_
    Trèp (Aceh), Lemem (Gayo), Lama (Melayu)
    :_
    Seumayang (Aceh), Semiyang (Gayo), Sembahyang (Melayu).

  3. Saya bukan orang yang memiliki latar belakang ilmu kebahasaan, jadi saya tidak paham dengan yang namanya kajian linguistik historis komparatif.

    Rekonstruksi yang saya lakukan di atas saya dasarkan pada pengamatan saya mengenai perbandingan antara bahasa Aceh dengan bahasa Melayu (silakan dibaca lagi tulisan saya: Hubungan antara Bahasa Aceh dengan Bahasa Melayu). Juga perbandingan dengan bahasa Arab dan bahasa-bahasa daerah lain di sekitar wilayah pemakaian bahasa Aceh, seperti bahasa Gayo, Alas, Singkil, Defayan, Batak dll.

    Dan ternyata rekonstruksi yang saya lakukan menunjukkan tanda-tanda kebenarannya setelah saya membaca beberapa tulisan yang membahas bahasa-bahasa Cam, bahasa Proto-Cam, bahasa-bahasa Austro-Asia, bahasa Vietnam dll.

    Silakan lihat di:
    Paul Sidwell. Acehnese and the Aceh-Chamic Language Family
    Mark Durie. 1990. Proto-Chamic and Acehnese Mid Vowels: Towards Proto-Aceh-Chamic

    Mengenai kata “beuët” dari “baat”, bisa saya jelaskan sbb:
    Kata “buët” berasosiasi dengan kata “buat”.
    Kata “tiëp” berasosiasi dengan kata “tiap”

    Sehingga saya berkesimpulan bahwa setiap bunyi /ë/ dalam bahasa Aceh berasal dari bunyi /a/ yang terletak setelah bunyi hidup (vokal).

    Jadi, “beuët” berasal dari kata “baat”.

    Dugaan saya terbukti, dengan bukti berikut:
    Kata “keurajeuën” berasal dari kata “kerajaan”
    Kata “peukateuën” berasal dari kata “perkataan”

    Bukti lagi dari bunyi panjang dalam bahasa Arab:
    Kata “haleuë “ berasal dari kata “halāl”
    Kata “hareuëm” berasal dari kata “harām”
    Kata “taleuëk” berasal dari kata “talāq”

    Mengenai kata “suët” yang berasal dari kata “suat” sudah terjawab dengan sendirinya.

    Mengenai kata “bintéh” yang berasal dari “bintis” dan kata “tamèh” yang berasal dari kata “tamis”saya dasarkan pada:
    Kata “abéh” berasal dari kata “habis”
    Kata “beutéh” berasal dari kata “betis”
    Kata “laréh” berasal dari kata “laris”

    Kalau Anda baca lagi tulisan saya mengenai perbandingan antara bahasa Aceh dengan bahasa Melayu, maka akan Anda temui bahwa setiap bunyi /i/ yang terletak sesudah bunyi sengau atau setengah sengau (semi-nasal) maka akan berubah menjadi /è/.

    Jadi, kata “tamèh” berarti berasal dari “tamis”. Contoh lain:
    Kata “jenis” berasal dari kata “jeunèh”
    Kata “hamèh” berasal dari kata “kamis”
    Kata “manèh” berasal dari kata “manis”
    Kata “tumèh” berasal dari kata “tumis”

    Bagaimana bang Safriandi, apakah rekonstruksi yang saya lakukan sudah benar menurut ilmu kebahasaan (linguistik) atau salah ?

  4. Saya tidak ingin berbicara masalah salah atau benar. Kita mencoba mencari pencerahan.
    1. Jika memang kata “buët” berasosiasi dengan kata “buat”, kata “tiëp” berasosiasi dengan kata “tiap”, apa alasannya? Kemudian, saya luruskan mengenai penulisan bahasa Aceh yang benar. Untuk kata buët yang Anda maksud itu, penulisan yang benar adalah but, bukan buët, untuk kata tiëp, penulisan yang benar adalah tip. Anda bisa membaca pedoman penulisan tentang ejaan bahasa Aceh yang ditulis oleh orang Aceh sendiri, seperti Budiman Sulaiman atau tulisan Dr. Abdul Gani Asyik.

    2. Kalo memang Anda berkesimpulan bahwa setiap bunyi /ë/ dalam bahasa Aceh berasal dari bunyi /a/ yang terletak setelah bunyi hidup (vokal) bagaimana dengan bunyi ‘biet’, ‘kliek’, ‘ie’. Apakah bunyi-bunyi /e/ yang ada pada kata-kata ini juga berasal dari bunyi /a/. Kalau memang dari bunyi /a/, apa contoh katanya? Ingat, Anda menggunakan ‘setiap bunyi’.

    3. ‘Peukateun’ dalam bahasa Aceh bukan berarti ‘perkataan’. Ia berarti ‘perbuatan’ atau dapat juga bermakna ‘mainan, misalnya dalam kalimat ‘Nyoe supo peukateun?’ Kalau memang Anda menyebut bahwa arti ‘peukateun’ adalah ‘perkataan’ ci neubi contoh keu lon meupadum boh!

    4. Selanjutnya, mengenai kata “bintéh” yang berasal dari “bintis”, kata “tamèh” yang berasal dari kata “tamis”, Anda tampaknya mengasosiasikan dari adanya beberapa gejala bunyi yang terjadi pada sebagian kosakata bahasa Aceh, yaitu bunyi akhir, misalnya seperti yang Anda contohkan, yaitu kata “abéh” berasal dari kata “habis”, “beutéh” berasal dari kata “betis”, dan “laréh” berasal dari kata “laris”. Tidak semua kosakata bahasa Aceh dapat diasosiasika seperti itu. Anda boleh Tanya pada semua orang tua yang ada di Aceh yang bahasa pertamanya adalah bahasa Aceh tentang ada atau tidak adanya kosakata bintis dalam bahasa Aceh. Tidak ada kosakata bintis dalam bahasa Aceh dan tidak ada kosakata bintis dalam bahasa Indonesia. Anda dapat melihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat atau kamus bahasa Aceh.

    Mengenai kata “bintéh” yang berasal dari “bintis” seperti yang Anda jelaskan, saya jadi teringat lelucon yang bunyinya begini “Saya tetangga dengan dia. Sebintis lagi.” Itu hanyalah interferensi dari bahasa Aceh ke bahasa Indonesia karena ada beberapa kosakata bahasa Aceh yang suku kata terakhirnya mirip dengan gejala yang Anda sebutkan tadi misalnya: batu dalam bahasa Aceh batèe, palu dalam bahasa Aceh palèe, es, dalam bahasa Aceh ‘eh’ lalu apakah paku dalam bahasa Aceh disebut *pakèe? Ah, itu tidak mungkin. Namun, kalau memang Anda yakin bahwa “bintéh” berasal dari “bintis” coba berikan alasan yang akurat kepada saya berdasarkan tinjauan etimologi bahasa karena jika berbicara ihwal asal muasal kata, kita tidak pernah bias lepas dari etimologi. Merumuskan dan menyimpulkan sesuatu harus berdasarkan landasan filosofis dan teoretis. Bukan berdasarkan pendapat sendiri. Penjelasan Anda tentang kata “bintéh” yang berasal dari “bintis”, saya belum dapat menerima dengan akal dan secara keilmuan. Mohon untuk poin ini diperjelas secara detail. Yang Anda jelaskan di atas, itu hanya sedikit dan tidak berdasarkan landasan teoretis, tetapi hanya sebuah spekulasi.

    5. Berikutnya, untuk kata jeunèh yang neupegah dari kata jenis, hana kosakata asli lam bahasa Aceh yang nanjih jeunèh. Jeunèh nyan terjemahan dari jenis. Kiban yang dikheun kosakata asli? Meunoe contohjih: prak, padubawa, seumiyup, tempaneng, brakah, dan jai that yang laén lom. Artijih, bahasa laén tan kosakata nyan.

    6. Untuk menambah pengetahuan Anda tentang bahasa Aceh, coba baca hasil-hasil penelitian bahasa Aceh seperti kajian mengenai gramatika bahasa Aceh oleh Snouck pada tahun 1900 walaupun masih dalam bentuk catatan kasar, oleh Anzib (1966) dan Ishak (1968), sekitar tahun 1970-an oleh beberapa penulis Aceh, seperti Asyik (1972, 1978,1982), Sulaiman (1975, 1978), Abdul Junaidi yang Judulnya Relasi-Relasi Gramatikal dalam Bahasa Aceh, Verba Reduplikasi dalam Bahasa Aceh oleh Azwardi.

    7. Adapun penulis yang Anda sebutkan ini, hasil karyanya boleh-boleh saja dibaca. Ya, hitung-hitung untuk mengetahui bagaimana orang asing meneliti bahasa kita.
    1. Paul Sidwell. Acehnese and the Aceh-Chamic Language Family
    2. Mark Durie. 1990. Proto-Chamic and Acehnese Mid Vowels: Towards Proto-Aceh-Chamic
    Namun, Anda harus ingat, mereka bukan penutur asli bahasa Aceh. Mereka adalah peneliti asing. Yang lebih tahu dan dapat merasakan tentang bahasa Aceh adalah orang seperti Anda dan saya karena sejak kecil kita memang sudah menguasai bahasa Aceh. Anda juga dapat membaca buku mengenai syarat-syarat menjadi seorang peneliti bahasa dan peneliti bahasa yang bagaimana dikatakatan sebagai peneliti yang baik. Untuk ini, Anda dapat membaca buk Sudaryanto yang berjudul Metode Penelitian terbitan Gajah Mada atau Mahsun yang juga berjudul Metode Penelitian Bahasa terbitan Rineka Cipta. Fakta juga membuktikan bahwa orang asing yang meneliti bahasa kita, kebanyakan banyak salah menulis kosakata bahasa Aceh. Saya punya banyak koleksi tentang salahnya orang asing menulis beberapa kata dalam bahasa Aceh. Oya, bukan semuanya ya. “Kebanyakan” atau “secara umum”
    8. Sekian. Silakan Anda komentari. Oya, jangan lupa ya. Kita diskusi. Kita mencari pencerahan. Artinya, jangan kedepankan emosi ketika kita berdiskusi. Kalau Anda mengedepankan emosi, saya mundur saja, tidak akan berkomentar lagi. Saya katakan begini karena kebanyakan kita mengedepankan emosi ketika berdiskusi. Saya tidak ingin seperti itu. Jika itu yang Anda kedepankan, saya mundur saja. Terserah Anda mau bilang apa tentang bahasa Aceh.

    9. Mohon maaf jika ada kata-kata yang membuat Anda terseinggung.

  5. Tanggapan saya:

    1. Alasannya sudah saya sampaikan, yaitu melihat pada kata “keurajeuën” yang berasal dari kata “kerajaan”, kata “peuteumuën” yang berasal dari kata “pertemuan” dan serapan dari kata-kata bahasa Arab yang memiliki bunyi hidup /a/ panjang.

    Mengenai bahwa penulisan yang benar adalah “but” dan “tip”, saya belum pernah menemukannya. Di kamus dan berbagai buku tentang bahasa Aceh yang pernah saya baca tertulis “buët” dan “tiëp”. Dan pengamatan saya dalam masyarakat (Seulimeung/Seulimeum, Pidië dsb, kecuali Banda Aceh dan Aceh Besar) yang diucapkan adalah “buët” dan “tiëp”. Kalau Anda katakan bahwa menurut Abdul Gani Asyik yang benar adalah “but” dan “tip”, temuan saya justru menunjukkan sebaliknya. Silakan cari kata “buët” dan “tiëp” di tulisan Dr. Abdul Gani Asyik, The Contextual Grammar of Acehnese Sentences. Dan lagi di Terjemahan Bersajak Al-Qur’an dalam Bahasa Aceh yang ketua tim penyuntingnya adalah Dr. Abdul Gani Asyik sendiri yang dipakai adalah “buët”, bukan “but”.

    Tapi, walau bagaimana pun saya ingin memeriksa keterangan Anda. Di mana bisa saya baca buku pedoman penulisan tentang ejaan bahasa Aceh yang ditulis oleh Budiman Sulaiman dan Abdul Gani Asyik?

    2. Betul, saya berkesimpulan bahwa setiap bunyi /ë/ dalam bahasa Aceh berasal dari bunyi /a/ yang terletak setelah bunyi hidup (vokal). Demikian pula halnya kata-kata lainnya seperti “ië” (air), “keumiët” (menjagai), “tiëk” (menjatuhkan) dan masih banyak lagi yang lain. Asal katanya adalah “ia”, “kemiat” dan “tiak” (ingat kata “ketiak” berasosiasi dengan kata “geutiëk”). Kalau saya tidak salah, bahasa Proto-Austronesia untuk “air” adalah “iar”. Berarti cocok…

    O ya, saya periksa di kamus, penulisan yang benar adalah “bit” bukan “biët”, dan “klik” bukan “kliëk”.

    3. Saya tidak mengatakan bahwa arti kata “peukateuën” dalam bahasa Aceh adalah “perkataan” (karena saya juga tau artinya), tetapi asal katanya adalah “perkataan”. Banyak kata-kata dalam bahasa Aceh dan Melayu yang memiliki induk kata yang sama, tetapi memiliki makna yang berbeda. Contoh:
    * “bengis” dan “beungèh” (marah)
    * “harga” dan “hareuga”. Kata “hareuga” dalam bahasa Aceh memiliki makna lain selain makna “nilai”. Misal:

    Jigeureubang ôk hareuga himbèë (Dilerai rambutnya seperti siamang)

    * “kabar” dan “haba”/”habay”. Kata “haba” selain memiliki makna “kabar”, juga memiliki makna lain (saya temukan dalam dialek Seulimeum). Misal:

    Ka cok laju habay hana soë eu. (Tidak ada terjemahan yang pas, tetapi lebih kurang begini terjemahannya: Kau ambil terus, tak ada orang yang liat pun)
    Cit sulét that jih habay jikheun lé si Asma. (Dia memang sangat suka menipu seperti kata si Asma)

    * “pertemuan” dan “peuteumuën”. Kata “peuteumuën” dalam bahasa Aceh sudah bergeser ke arti jodoh.

    * Masih banyak yang lain.

    4. Saya tidak pernah mengatakan bahwa “bintis” itu bahasa Aceh atau bahasa Indonesia, tetapi yang saya katakan kata “bintéh” berasal dari kata “bintis”. Dan saya juga tidak mengatakan bahwa “paku” bahasa Acehnya “pakèë”. Saya merunut dari bahasa Aceh ke asal katanya, bukan merunut dari bahasa Melayu ke bahasa Aceh. Ketika “batu” berasosiasi dengan “batèë”, “abu” dengan “abèë” dst, saya tidak mengatakan “selalu” dalam bahasa Aceh seharusnya “seulalèë” atau “situ” dalam bahasa Aceh seharusnya “sitèë”. Tidak. Karena saya tidak merunut dari bahasa Melayu ke bahasa Aceh.

    Tetapi kalau Anda meminta alasan yang akurat berdasarkan tinjauan etimologi bahasa, saya tidak bisa karena saya tidak paham ilmu linguistik. Bukti yang saya kemukakan melihat dari perubahan bunyi ke bahasa Aceh, misal:

    * “hamèh” berasal dari kata “khamis”
    * “wajéb” berasal dari kata “wajib”
    * “tumèh” berasal dari kata “tumis”. Bahasa Aceh asli adalah “cr’ah”.
    * “inggréh” berasal dari kata “inggris” atau “english” ?
    * terlalu banyak yang lainnya, terutama kata-kata baru baik dari bahasa Indonesia, Arab dan Inggris yang diucapkan menurut lidah Aceh

    Benar bahwa merumuskan dan menyimpulkan sesuatu harus berdasarkan landasan filosofis dan teoretis, bukan berdasarkan pendapat sendiri, APABILA kita berbicara dalam sebuah forum ilmiah. Namun, yang saya lakukan di sini bukanlah berbicara dalam forum ilmiah, tetapi saya menyampaikan pendapat saya dalam blog pribadi saya.

    Kalau menurut Anda seseorang tidak boleh menyampaikan pendapatnya hanya karena seseorang tidak punya kemampuan dalam ilmu tertentu, saya tidak setuju, karena yang disampaikan bukanlah agama.

    5. Kata “jeunèh” ada di dalam Kamus Bahasa Aceh – Indonesia. Kalau Anda katakan bahwa “jeunèh” adalah terjemahan dari “jenis”, maka semakin membuktikan bahwa terjadi perubahan bunyi dari /i/ menjadi /é/ dan /s/ menjadi /h/ dalam bahasa Aceh. Sama seperti “bintéh”.

    Kalau Anda katakan maksud kosa kata asli adalah kosa kata yang tidak dijumpai dalam bahasa lain, apakah sudah pasti kalau kata “prak”, “padubawa”, “seumiyup”, “tempaneng”, “brakah” tidak ada dalam bahasa lain? Sebagai contoh bahasa Aceh “cicém” (burung) terdapat dalam bahasa lain, misal “cicum” (bahasa Moken), “cim” (bahasa Cam) dst. Silakan lihat tulisan Sidwell.

    6. Di mana bisa saya dapatkan bacaan-bacan tersebut?

    7. Saya membaca tulisan Sidwell dan Durie itu dalam rangka melihat perbandingan antara bahasa Aceh dengan bahasa-bahasa Cam dan Austro-Asia, untuk melihat apakah rekonstruksi yang saya buat benar atau tidak, bukan untuk melihat kata-kata bahasa Aceh yang mereka tulis, karena saya pun menemukan kesalahan penulisan kata-kata bahasa Aceh oleh mereka.

    8. Saya senang dengan adanya komentar Anda, sehingga ada sebuah diskusi, apalagi Anda berlatar belakang ilmu linguistik, jadi bisa menambah ilmu saya. Teurimong gaséh.

  6. Udah lama gak berkunjung, ternyata ada postingan baru. Oya, kok ada yang beda antara pelafalan daerah timur-utara dengan barat-selatan ya?

  7. @ Millati,

    Kalau ingin mengikuti tulisan-tulisan terbaru di blog ini, untuk memudahkan Anda, lebih baik berlangganan postingan saja.

    Mengenai perbedaan dialek, kenapa bisa terjadi, saya juga tidak tahu pasti.
    Yang jelas ada faktor migrasi awal mula yang berbeda dan pengaruh dari bahasa-bahasa asli yang sudah ada juga bahasa-bahasa di sekitarnya ditambah pengaruh bahasa-bahasa asing.

  8. @ Millati.
    Menurut saya, perbedaan pelafalan (dialek) bahasa Aceh juga dipengaruhi oleh lingkungan, pendidikan, termasuk kebiasaan. Biasanya orang yang tinggal di daerah pertengahan antara dekat pantai dan pegunungan lebih halus tutur bahasanya ketimbang orang di dekat pesisir dan pedalaman.

  9. safriandi, saba … hahahahaha

    ke teukhem kon le, nibak hai nyoe: –bintis—

    hahahahahahahahaha, saja-saja ada tgk. admin
    jangan pula bilang semua –éh– berasal dari -is-, lucu wakkk.
    éh, ‘tidur’ berasal dari -is-?
    kuéh, ‘kue’ berasal dari -kuis-?
    puréh, ‘lidi’ berasal dari -puris-?
    putéh, ‘putih’ berasal dari -putis-?

    hahahahahaha
    hahahahahaha

  10. k/ Rimba

    Droeneuh bek neujak pupok lon ngon Bang Safriandi beh.

    Kenapa harus menertawakan orang? Kalau mau mengkritik, silakan saja mengkritik. Siapa nama kamu? Kenapa harus pakai nama samaran?

    Saya tidak mengatakan semua –éh berasal dari -is. Karena ada beberapa kata di mana –éh berasal dari -ih. Misal:
    * “piléh” dari “pilih”
    * “puléh” dari “pulih”
    * “putéh” dari “putih”
    * dll

    Mengenai kata “éh”, “kuéh” dan “puréh” tidak mustahil berasal dari “is”, “kuis” dan “puris”.

  11. hai tgk han ek tape tupat nyan lage iku miee,,,bhsa aceh nyan bhsa kya sboh kta le arti n sboh arti lee kta,,peu na prle lon bi cntoh jih,,,na syit sbn kta jih tp bda juoh that arti jih,,,,

  12. nyan lon setuju lage tgk anonymous peugah
    tapi le kata2 yg dituleh salah cara penulisan…
    aci belajar cara penulisan aksen dlm bahasa aceh dilee
    meunyoe kira2 hana pah, aci tanyeng saran bak tgk2 laen

  13. Meunyo tatem, ek tapeuteupat…

    bhsa aceh nyan bhsa kya sboh kta le arti n sboh arti lee kta,,peu na prle lon bi cntoh jih,,,na syit sbn kta jih tp bda juoh that arti jih,,,,

    Hana hubongan ngon atra lontuleh di ateueh…

  14. hargailah pendapat dan dedikasi orang lain. Saya kira pendapat bung admin ini benar. Seperti dalam bahasa sunda ‘b’ diganti menjadi ‘w’. Contoh walanda dari belanda, wedak dari bedak, wani dari berani, watu dari batu, dll, atau e (dlm ke) ke a seperti kalapa dari kelapa, kagunaan dari kegunaan, dll.

  15. Nyan keuh hai cèëdara-cèëdara mutuwah, “leubèh” nyang na lam bahsa Acèh, sikrèk tutô jeuët meubagoë makna, la’én dairah ka meula’én makna, bahsa Acèh jeuët jiteurimong (dipadukan/di-Acèhkan?, ngon) bahsa la’én. Lagéë meunasah nibak bahsa Arab (مناصج), biléh nibak bahsa Melayu (bilis) atawa la’én. Teuma hana bandum jitém, na chit nyang han jilôp sambông. Nyan keuh ta meubri-bri èleuëmèë sabè geutanyoë. Saweuëb kamoë pih gohlom na le Èleumèë…
    (Selamat Menjalankan Ibadah Puasa, moga jadi insan yang bertaqwa, amin…)

  16. Lon that galak na diskusi lagee nyan rupaa… Insya Allah jroeh that keu mandum geutanyoe untuk tatamah khazanah ilmee yg na bak tanyoe nibak sa’ah nyoe.. yg penteng bek tuwoe geutanyoe tapeurunoe ubee bee ek generasi tanyoe ukeu supaya jipeugah haba lam bahasa Aceh, krn ramee that takaloen jinoe yg hana that ipeureumeun dum lam bahasa Aceh, meuah cakap “ka teuceu ek” bacut2 ka lam bahasa melayu (padahai baroe troeh u kota ka teuceu ek hana meupue lee, tuha muda karap saban). Jd sbagoe kesimpulan, bhwa ayat “wal yakhsyalladziina law tarakuu min khalfihim dzurriyatan dhi’afaa” yg arti jih hendaklah geutanyoe takot krn tatinggai generasi yg leumoh, sbnar jih nyan keun hanya bak ibadat n ilmee agama, akan tetapi syit nibak bahasa, bek sampoe 40 thon ukeu ka hana jeut lee bhsa Aceh dum gara2 kureung perhatian tanyoe nibak ta peurunoe seureuta tamarit lam bahasa aceh ngeun aneuk2 mit geutanyoe n sabee keudroe2 teuh..
    rayeuk sabah ukeu admin yg poe blog nyoe dan rakan2 laen,, smg na manfaat n geubrie sihat walafiat sabee,, amiinn

    wassalam,,

    abu ziyad

  17. loen na rencana mita kata2 dalam bahasa aceh nyang ujoeng jieh R
    Peukeuh na dalam bahasa aceh,peu hana

  18. geutanyo bandum ka hana meuphom lee bahasa aceh..bahasa yang getanyo pakek uro nyo ka mencampu ngon bahasa indonesia yang geutanyo acehkan…chie geutnyo sama2 jino ta mita cara untuk ta pu tupat kembali bahasa aceh…. ta kajie dilee dialek dasar dari bahasa aceh baro geutanyo lop tuk yang leubeh jeuoh….contok “jendela” nyan pane bahasa aceh lom..

  19. Saya kira saya setuju dengan artikel ini. Saya tahu, yang coba dirunut adalah akar kata di bahasa kunonya (Proto-Aceh/Proto-Chamic *Bahasa Aceh berasal dari rumpun yang sama dengan bahasa Cham di Vietnam, makanya nama familinya Chamic).
    Tidak mustahil bintih berasal dari bintis, karena bahasa kuno terkadang lebih susah diucapkan baru kemudian disederhanakan seperti sekarang. Kajian tipologi juga bisa membantu. Seperti nama kuno Pidie: Pedir. Ini berarti ada pergeseran pengucapan akhiran R di bahasa aceh sehingga berubah menjadi Pidie. Bahasa Inggris pun mengalami apa yang disebut Great Vowel Shift pada abad ke-13 (saat dijajah bangsa Norman) sehingga pengucapan vokalnya tidak sama lagi dengan ejaannya (Ejaan inggris relatif tidak berubah sejak abad ke-15, tapi pengucapan terus berkembang.)
    Sekadar komentar. 😀

Tinggalkan komentar