Apabila kita abaikan bentuk-bentuk imbuhan kata ganti yang telah kita bahas sebelumnya, maka jumlah imbuhan dalam bahasa Aceh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan jumlah imbuhan yang ada dalam bahasa Indonesia. Juga imbuhan dalam bahasa Indonesia lebih rumit dibandingkan dengan imbuhan dalam bahasa Aceh.
Bila dalam bahasa Indonesia dijumpai bentuk imbuhan yang menyatakan pelaku (awalan pe-) atau dalam bahasa Arab disebut faa‘il, maka dalam bahasa Aceh tidak dikenal imbuhan untuk menyatakannya. Juga tidak dijumpai bentuk imbuhan yang sepadan dengan imbuhan pe- -an, per- -an dan ke- an. Demikian pula halnya dengan akhiran, tidak dijumpai dalam bahasa Aceh.
Sehingga permasalahan utama dalam penerjemahan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Aceh adalah bagaimana cara menerjemahkan ketiga gabungan imbuhan di atas, yaitu pe- -an, per- -an dan ke- -an. Misalkan bagaimana menerjemahkan kata penyatuan, persatuan dan kesatuan.
Untuk permasalahan ini, akan kita bahas dalam tulisan tersendiri.
AWALAN
I. Awalan Meu-
Awalan meu- memiliki makna yang hampir sama dengan awalan ber- seperti dalam bahasa Indonesia. Awalan meu- berubah menjadi mu- apabila berjumpa dengan kata berawalan huruf /b/, /m/, /p/ dan /w/. Perubahan ini tidak terdapat pada semua dialek. Beberapa dialek tetap mempertahankan bentuk aslinya.
Continue reading →